
Cerewet.site - Kini, Sulawesi Selatan adalah provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Pulau Sulawesi. Dengan 24 kabupaten/kota dan 736.480 jiwa, atau 7,7 persen dari total penduduk pada tahun 2024 (9.463.385 jiwa), Sulawesi Selatan mengalahkan 5 provinsi lain di Sulawesi, termasuk Sulawesi Tengah (Sulteng) dengan 379.760 jiwa, Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan 3.560 jiwa, dan Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan 3.560 jiwa.
Menurut data yang dipublikasikan Selasa, 2 Juli 2024, oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan.
“Jadi kalau mau melihat data penduduk miskin, jangan lihat jumlahnya tapi lihat persentasenya. Memang Sulsel punya jumlah penduduk miskin terbanyak, karena juga memiliki populasi terbesar,” kata Aryanto, Kepala BPS Sulsel.
Sulawesi Selatan menempati urutan kedua terendah dari semua Sulawesi secara persentase. Sulawesi Utara berada di belakangnya dengan 7,25%.
Namun, populasi miskin tertinggi di Sulawesi adalah Gorontalo sebesar 14,57%, disusul Sulawesi Tengah sebesar 11,77%, dan Sulawesi Tenggara dan Barat masing-masing sebesar 11,21%.
Seorang calon gubernur tampaknya memiliki banyak pekerjaan untuk dilakukan karena banyaknya penduduk miskin Sulsel.
Pada November 2024, warga Sulsel akan memilih gubernur dan wakil gubernur melalui pilkada serentak.
Selama satu periode, dari 2018 hingga 2023, dan kemudian dari 2024, empat gubernur memimpin Sulawesi Selatan.
Mulai dari Nurdin Abdullah, Andi Sudirman Sulaiman mengambil alih, kemudian Bahtiar Baharuddin mengambil alih, dan Zudan Arif Fakrulloh sekarang memimpin Sulawesi Selatan.
Aryanto menjelaskan bahwa banyak orang miskin karena definisi kemiskinan bergantung pada konsep kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Metode ini menggambarkan kemiskinan sebagai ketidakmampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Garis kemiskinan terdiri dari dua garis, yaitu garis kemiskinan pangan dan garis kemiskinan non-makanan. Nilai minimum pengeluaran makanan per hari untuk garis pangan adalah 2.100 kkalori, sedangkan garis kemiskinan non-makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, dan makanan.
Untuk informasi, masyarakat miskin didefinisikan sebagai memiliki rata-rata pengeluaran per kapita bulanan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan, di sisi lain, didefinisikan sebagai jumlah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar seseorang agar tidak dianggap miskin.Garis kemiskinan pada Maret 2023 dicatat oleh BPS.
Angka tersebut meningkat 8,90% dibandingkan periode Maret 2022 dan 2,78% dibandingkan September 2022.
Pengeluaran terbesar dialokasikan untuk komoditas makanan (73% kota dan 76,08 persen pedesaan) dan non-makanan (27% kota dan 23,92 persen pedesaan).
Garis kemiskinan per rumah tangga di Indonesia sebesar Rp2.592.657 per bulan, meningkat 11,55 persen dibandingkan September 2022. Dengan demikian, rumah tangga yang pengeluarannya kurang dari itu dianggap miskin.
Dalam laporannya, BPS mencatat angka kemiskinan pada periode Maret 2023 disebabkan oleh beberapa faktor. Yang pertama adalah angka kemiskinan terbuka (TPT) pada Februari 2023 sebesar 5,45 persen, turun dari TPT Agustus 2022 sebesar 5,86 persen. Yang kedua adalah Nilai Tukar Petani (NTP) pada Maret 2023 sebesar 110,85, meningkat dari 106,82 pada September 2023.
Ketiga, tingkat inflasi menunjukkan penurunan. Inflasi dari September 2022 hingga Maret 2023 sebesar 1,32, lebih rendah dari 3,60 dari September 2022 hingga September 2022. Keempat, konsumsi rumah tangga meningkat sebesar 3,65% dari Triwulan I hingga Triwulan III hingga 2023.Kelima, upaya terus dilakukan untuk mengurangi biaya yang ditanggung masyarakat miskin melalui bantuan sosial.
Pemanfaatan bansos Program Keluarga Harapan (PKH) mencapai 89,3% pada triwulan I hingga 2023, sementara pemanfaatan bansos sembako tahap I mencapai 86,5%, menurut BPS.