Cerewet.site - Dalam beberapa hari terakhir, seruan All Eyes on Papua menjadi sangat populer di media sosial. Gerakan All Eyes on Papua, yang telah mendapat perhatian besar di media sosial, sebenarnya apa?
Gerakan All Eyes on Papua viral segera setelah gerakan All Eyes on Rafah juga viral. Seruan ini mengacu pada Rafah, sebuah kota di selatan Jalur Gaza, Palestina, yang saat ini menjadi sasaran utama agresi brutal Israel.

Setelah gerakan tersebut, seruan All Eyes on Papua muncul di berbagai platform, mulai dari Instagram hingga X (yang sebelumnya adalah Twitter).Selasa (4/6), Cerewet.site melaporkan bahwa seruan All Eyes on Papua di X bahkan telah menerima lebih dari 38 ribu cuitan. 

Dalam beberapa hari terakhir, seruan All Eyes on Papua menjadi sangat populer di media sosial. Gerakan All Eyes on Papua, yang telah mendapat perhatian besar di media sosial, sebenarnya apa?
Gerakan All Eyes on Papua viral segera setelah gerakan All Eyes on Rafah juga viral. Seruan ini mengacu pada Rafah, sebuah kota di selatan Jalur Gaza, Palestina, yang saat ini menjadi sasaran utama agresi brutal Israel.

Setelah gerakan tersebut, seruan All Eyes on Papua muncul di berbagai platform, mulai dari Instagram hingga X (yang sebelumnya adalah Twitter).Selasa (4/6), Cerewet.site melaporkan bahwa seruan All Eyes on Papua di X bahkan telah menerima lebih dari 38 ribu cuitan.

Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi mendatangi gedung Mahkamah Agung di Jakarta Pusat pada Senin (27/5), yang mendorong dukungan untuk Papua. Di depan gedung MA, dua suku Papua menggelar doa dan ritual adat. Mereka mengenakan pakaian adat mereka.

Tujuannya adalah untuk meminta Mahkamah Agung membuat peraturan untuk melindungi hutan asli mereka.




Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, menyatakan, "Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini." 

Saat ini, gugatan yang diajukan oleh suku Awyu dan suku Moi telah mencapai tahap kasasi di Mahkamah Agung.

Hendrikus Woro menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena memberi izin lingkungan kepada sebuah perusahaan sawit. Izin lingkungan tersebut mencakup 36.094 hektare, lebih dari setengah luas DKI Jakarta, di hutan adat marga Woro, yang merupakan bagian dari suku Awyu.

Selain kasus tersebut, masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan gugatan atas gugatan beberapa perusahaan sawit lain yang sudah beroperasi di Boven Digoel dan akan melakukan ekspansi.

Rencana operasi perusahaan sawit akan berdampak pada komitmen iklim pemerintah Indonesia, karena selain berdampak pada masyarakat adat Awyu, izin lingkungan yang diberikan untuk perusahaan sawit di Papua berpotensi menyebabkan deforestasi.

Dengan cara yang sama, suku Moi sedang dalam konflik dengan perusahaan sawit yang akan menggarap 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin.

Oleh karena itu, gerakan All Eyes on Papua yang disebarluaskan di media sosial merupakan cara untuk berkolaborasi dengan masyarakat adat Papua dalam upaya mereka untuk menyelamatkan hutan mereka.