Cerewet.site - Sejumlah pihak menanggapi fatwa salam lintas agama yang dikeluarkan oleh Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia. Sehubungan dengan fatwa salam lintas agama, Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Arif Fahrudin memberikan penjelasan tentang proporsionalitas toleransi.
Arif mengatakan, "Tidak semua aspek Islam bisa ditoleransi, yang tidak diperkenankan Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah akidah dan ritual keagamaan, atau sinkretisme atau talfiq al-adyan, sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah."

Arif, anggota SC Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII, menjelaskan bahwa kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang plural juga dipertimbangkan dalam fatwa salam lintas agama. 

Dia mencontohkan bahwa jika populasi umat Islam tidak dominan di suatu wilayah dan budaya mereka tidak dapat menghindari tradisi interaksi lintas agama sebagai bentuk ekspresi kerukunan, kekhawatiran umat Islam dianggap tidak proaktif memperkuat kerukunan antar umat beragama.
 
Dia menyatakan bahwa orang Islam di wilayah tersebut memiliki alasan syar'i atau udzur syar'i untuk mempertahankan tradisi toleransi tersebut selama tidak dimaksudkan sebagai praktik ibadah atau akidah. Dia juga mengatakan bahwa pejabat diharapkan menggunakan redaksi salam nasional agar semua pihak terangkum di dalamnya. Menurutnya, jika hal di atas tidak mungkin, pejabat publik atau pemerintahan juga dapat memiliki alasan syar'i atau udzur syar'i, asalkan tidak dimaksudkan sebagai sinkretisme ibadah.

Pernyataan PBNU

Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan bahwa pihaknya belum pernah melakukan penyelidikan menyeluruh tentang fatwa salam yang mencakup agama lain. Selain itu, PBNU tidak mewajibkan siapa pun untuk memberikan komentar tentang salam lintas agama.

Katib 'Aam PBNU KH Akhmad Said Asrori menyatakan dalam keterangan yang dikutip Antara pada Minggu (2/6), bahwa PBNU belum pernah melakukan kajian secara mendalam dan membahas secara mendalam mengenai salam lintas agama dalam berbagai forum resmi yang ada di lingkungan NU.

Dia menyatakan bahwa PBNU tidak menugaskan atau memberikan mandat kepada siapa pun untuk berbicara atau menyampaikan pandangan tentang salam lintas agama. 

Dia menyatakan bahwa Pengurus Wilayah NU (PWNU) Provinsi Jawa Timur juga telah melakukan pembahasan atau kajian tentang salam lintas agama selain dari hasil Ijtima Ulama. Pada tahun 2019, forum Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur melakukan kajian tersebut.

Sebagai kesimpulan dari Bahtsul Masail PWNU, pejabat Muslim disarankan untuk mengucapkan salam dengan kalimat "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh" atau diikuti dengan salam nasional seperti "Selamat pagi, salam sejahtera bagi semua", dan sebagainya.

Akhmad mengatakan, "Namun, dalam kondisi tertentu, demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama." 

Hasil Ijtima Ulama

Ketua SC dan Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, menyampaikan keterangan tertulis tentang keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII tentang hukum salam lintas agama. Ijtima Ulama menegaskan bahwa salam lintas agama tidak boleh diterima.

Seperti yang diumumkan pada hari Kamis (30/5), keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia menyatakan bahwa "penggabungan ajaran berbagai agama, termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam dari berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama, bukanlah makna toleransi yang dibenarkan." 

Hasil penelitian ulama menunjukkan bahwa salam adalah doa ubudiah, sehingga harus dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat Islam dan tidak boleh digabungkan dengan salam dari agama lain.Panduan tambahan menyatakan bahwa "Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram."